Garut sedang mengukir sejarah. Pilkada putaran kedua menempatkan dua pesaing dari kubu yang berbeda berhadapan secara frontal. Apakah calon dari partai atau independen (perseorangan) yang akan keluar menjadi pemenang? Kita tentu saja tidak bisa tinggal diam. Mari kita menjadi bagian dari sejarah itu dengan sampil sebagai pelaku yang ikut menentukan warna sejarah Garut tersebut.
Tanggal 21 Desember 2008 Pilkada Garut babak 2 digelar. Koalisi Kebangsaan bersaing dengan calon Independen untuk merebut simpati rakyat. Kunci kemenangan dipegang partai-partai berbasis agama yang calonnya tumbang di putaran 1. Bagaimana sikap mereka? Apakah mendukung Koalisi Kebangsaan, Independen atau menjadi Golput. Sebaiknya jangan golput, karena sekalipun golput memperoleh suara terbanyak, bupati dan wakil bupati baru tetap akan lahir, dan segala kebijakannya mengikat rakyat Garut. Jadi tentukanlah pilihan sesuai dengan semangat perubahan.
Tahun 2008 adalah tahun terakhir diadakan pilkada karena pada tahun 2009 akan dilaksanakan Pemilu Legislatif dan Pilpres. Kesempatan terakhir untuk menjadi pelaku sejarah!
Dari beberapa Pilkada di P. Jawa, belum ada satu pun calon Independen yang memenangkannya. Garut situasinya berbeda. Calon yang diusung partai (Golkar dan PDIP) untuk menjadi kepala daerah bukanlah kader atau simpatisan partai. Partai hanya sebagai kendaraan politik saja. Kenyataan ini sangat berpengaruh terhadap semangat juang para kader dalam memenangkan calonnya. Calon Independen di Pilkada Garut mempunyai peluang besar, disamping didampingi artis terkenal, ia bisa mendapatkan dukungan dari partai-partai berbasis agama yang calon-calonnya rontok dalam pilkada putaran pertama. Apabila Calon Independen memenangkan pilkada putaran 2 ini, berarti Garut tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya kabupaten di P. Jawa yang dipimpin oleh bupati dari kalangan perseorangan.
Partai selama ini tidak berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pengurus partai hanya sibuk memikirkan kekuasaan dan hasilnya hanya dirasakan oleh orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan tsb. Kita merasakan elit-elit partai termasuk juga para kadernya bersikap arogan dan menganggap merekalah yang menentukan kehidupan ini. Kita juga menyaksikan sendiri, berkat bantuan media massa, bagaimana perilaku para anggota dewan baik di pusat maupun di daerah. Kenyataannya mereka bukanlah pembela rakyat, yang terjadi mereka mengorbankan rakyat dengan menguras dana dari berbagai sumber dengan mengatasnamakan rakyat;(Beberapa contoh saja: Kucuran dana BLBI, Alih fungsi hutan, pembuattan undang-undang/perda titipan, jaring asmara dll.). Makanya jangan percaya jargon jargon, moto atau ocehan orang partai!
Dalam konteks pilkada, sesungguhnya rakyat memiliki kedaulatan yang besar. Kedaulatan ini akan semakin nyata apabila rakyat bersatu. Kesatuan bisa dibangun apabila rakyat mempunyai tujuan yang sama; Garut berubah secara fundamental. Perubahan dimjulai dari diri sendiri dengan tidak mempercayai suber kekuasaan dari partai yang telah menjadikan Garut carut-marut seperti sekarang ini. Undang-undang memberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk menentukan sendiri pemimpinnya. Bukanlah kita selama ini kecewa dengan sepak terjang para anggota dewan? Rakyat, sekaranglah saatnya memilih!
Apabila partai-partai bisa berkoalisi, rakyat pun bisa. Didasari ketidakpercayaan terhadap partai, merasa didzolimi, dikhianati para anggota dewan yang notabene orang partai, persatuan akan bisa terwujud.
Partai-partai berkoalisi tentunya mempunyai tujuan ingin merebut kekuasaan. Ketika kekuasaan itu diraih, tentunya harus dibagi-bagikan kepada partai-partai yang merasa berjasa telah mengantarkan calon ke singgasana kekuasaan. Akhirnya kekuasaan itu hanya digunakan untuk mengatur siapa mendapatkan apa. Manakala penjatahan ini tidak proporsional, maka otomatis akan terjadi konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya rakyat juga yang menjadi korban.
Banyak sekali alasan yang diajukan elit partai kepada calon yang berhasil didudukan di kursi kekuasaan. Memang mengurus partai memerlukan dana yang sangat besar, apalagi partai yang sudah mapan dan mengakar sampai ke pelosok secara tradisional. Manakala permintaan dana ini dipenuhi, ternyata bantuan tersebut tidak sampai ke kader-kader partai yang ada di daerah; dana tersebut hanya dimanfaatkan oleh segilintir elit partai. Sebaliknya, apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi, maka kekuasaan itu akan diguncang kader-kader partai yang menjadi anggota legislatif. Inilah dilemma yang harus dihadapi oleh kepala daerah yang diusung partai.
Semestinya rakyat bangkit. Jaman sudah demikian transparan, undang-undang memberikan kesempatan dan kebebasan untuk memilih, dan kesadaran rakyat yang tinggi akan hak-hak politiknya, rakyat bisa menunjukkan kekuasaannya tanpa intervensi partai. Kalau kita tidak mempercayai lagi partai, kita jangan menerima tawaran yang diberikan. Carilah pilihan yang lain sebagai harapan baru.
Perlawanan rakyat terhadap arogansi partai hanya bisa dilakukan pada saat pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara, sebagai bentuk penyampaian aspirasi langsung.
Garut sedang mengukit sejarah. Kita ingin menjadi bagian darinya. Jadilah pelaku sejarah!